Iklan

Iklan feed

,

Iklan

 



Membaca Ulang Sikap MUI : Di Mana Suara Fatwa untuk Keadilan Lingkungan ?

Naratawa
Senin, 21 Juli 2025, Juli 21, 2025 WIB Last Updated 2025-07-21T07:15:10Z
Gambar : Ilustrasi pengkajian ulang tentang Fatwa MUI Terkait Lingkungan

Naratawa.id - Pembangunan nasional saat ini banyak menyorot nikel sebagai komoditas unggulan. Namun, di balik narasi megah tentang transisi energi dan ketahanan ekonomi, ada kenyataan pahit yang terjadi di wilayah timur Indonesia. Tanah rusak, hutan gundul, air tercemar, dan masyarakat adat kehilangan tempat tinggal. Ironisnya, kerusakan ekologis masif ini jarang mendapat kritik moral yang kuat dari institusi keagamaan yang disegani seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI).


Tulisan ini mencoba mengkritisi sikap pasif atau respons yang kurang tegas dari MUI dalam menyikapi dampak lingkungan akibat pertambangan. Sebagai lembaga yang memegang otoritas moral tertinggi, MUI seolah-olah ragu untuk melihat eksploitasi alam ini sebagai bentuk mafsadah atau kerusakan nyata yang harus dihentikan. 


Dengan meninjau kembali persoalan ini dari perspektif maqāṣid al-syarī‘ah (tujuan utama syariat Islam) kita perlu bertanya : mengapa fatwa tidak hadir saat bumi sedang merintih?


MUI memang pernah menerbitkan fatwa tentang keharaman membuang sampah sembarangan (Fatwa MUI Nomor 41 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Sampah untuk Mencegah Kerusakan Lingkungan) dan pentingnya melestarikan satwa langka (Fatwa MUI Nomor 04 Tahun 2014 tentang Pelestarian Satwa Langka untuk Menjaga Keseimbangan Ekosistem), Bahkan, MUI juga telah memiliki landasan kuat melalui Fatwa Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pertambangan Ramah Lingkungan, yang secara tegas mengharamkan praktik pertambangan yang merusak ekosistem dan memiskinkan masyarakat.


 Namun, ketika pegunungan dikeruk, sungai-sungai terpecah, dan mata pencaharian warga hilang, tidak ada fatwa yang secara eksplisit menyatakan praktik ini sebagai tindakan yang haram.

 Pernyataan yang muncul biasanya hanya sebatas imbauan moral yang umum, seperti "mari jaga lingkungan" atau "rawatlah alam". Tidak ada ketegasan untuk menyebutkan bahwa pertambangan yang merusak, apalagi sampai menyingkirkan masyarakat demi keuntungan modal, adalah pelanggaran terhadap prinsip keadilan dalam syariat.

Padahal, maqasid al-syari‘ah mengajarkan kita untuk menjaga lima hal pokok: agama (dīn), jiwa (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl), dan harta (māl), Praktik tambang nikel telah merusak tiga di antaranya secara langsung. Pertama, jiwa masyarakat yang kehilangan ruang hidup. Kedua, masa depan keturunan yang diwarisi lahan tandus dan air yang tak layak konsumsi. Ketiga, harta kolektif berupa tanah adat yang direnggut.


Di dalam kaidah fikih juga sudah jelas bahwa "kerusakan harus dihilangkan" (الضرار يزال) dan "mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil manfaat" (درء المفاسد مقدم على جلب المصالح). Jika prinsip-prinsip ini diterapkan secara konsisten, tidak ada pembenaran syar‘i untuk membiarkan praktik pertambangan yang membawa kehancuran ekologis.


Ketidakhadiran fatwa yang jelas dari MUI menunjukkan bahwa pemahaman fikih kita belum mampu mengikuti laju kerusakan di dunia nyata. Ini bukan sekadar masalah lambat, tetapi juga tentang keberanian moral. Di saat masyarakat adat berjuang melawan tambang dan hutan berubah menjadi puing, suara keagamaan seharusnya menjadi benteng pelindung nilai-nilai kebenaran, bukan sekadar pengamat kebijakan.

Sudah saatnya fatwa berbicara dengan lantang: bahwa pertambangan yang merusak adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah sebagai khalifah di bumi. Eksploitasi sumber daya tanpa mempertimbangkan keseimbangan ekologis dan keadilan sosial adalah pelanggaran terhadap syariat itu sendiri. 


MUI tidak bisa hanya menghimbau. Mereka harus berani mengeluarkan fatwa haram untuk praktik tambang yang eksploitatif, bukan hanya karena dampak lingkungannya, tetapi karena praktik tersebut mengkhianati keadilan, merendahkan martabat manusia, dan menghancurkan ciptaan Tuhan.


Fatwa adalah cerminan nurani umat. Jika ia hanya dikeluarkan untuk isu-isu yang menguntungkan dan bungkam saat bumi berteriak, maka kita tidak sedang menegakkan fikih, melainkan sedang menawar kebenaran. Dan itu bukanlah sikap para ulama.


Oleh : Syaiful Bahri, Maha santri Ma'had Aly Situbondo

Iklan ads