![]() |
| Gambar Ilustrasi |
Bencana ini bukan sekadar fenomena alam; ia adalah saksi dari pohon yang ditebang, hutan yang gundul, dan pembangunan yang mengabaikan keselamatan masyarakat.
Ketika masyarakat tak mampu mengungkap, alam yang berbicara. Dan pesannya jelas: keputusan pejabat, izin tambang, dan pembangunan di bantaran sungai telah menyiapkan bencana ini jauh sebelum hujan turun. Tidak ada yang “mendadak” di sini; bencana ini adalah hasil kombinasi kelalaian manusia dan alam yang terpaksa mengungkap fakta.
Sebagai seorang santri, saya teringat satu prinsip fikih yang artinya “tidak boleh menimbulkan bahaya atau saling membahayakan.” Prinsip ini sederhana, tetapi implikasinya luas.
Pohon ditebang, hutan hilang, sungai dipersempit, dann kawasan rawan dibangun—semua tindakan ini melanggar prinsip itu, secara struktural maupun moral.
Alam hadir sebagai pengungkap kegagalan kita, sementara retorika religius kerap dijadikan tameng: “ini ujian Tuhan, mari bersabar.” Tapi bersabar tidak menahan sungai yang meluap, tidak menumbuhkan pohon yang hilang, dan tidak mengganti rumah yang hanyut.
Yang terdampak selalu mereka yang paling rentan: warga di lereng, bantaran sungai, dan wilayah rawan longsor. Mereka kehilangan rumah, mata pencaharian, dan rasa aman. Sementara kepentinagn ekonomi jangka pendek dan keputusan pejabat yang lalai memperparah kerentanan ini. Alam memberi bukti nyata : kayu balok terhanyut, tanah longsor, sungai meluap—indikator kegagalan kebijakan dan ketidakpedulian manusia.
Dalam refleksi ini, saya merasa tersentuh sekaligus tergelitik. Alam berbicara, dan pesan itu tidak bisa diabaikan. Mitigasi bencana bukan sekadar tanggap darurat, tetapi soal membangun kesadaran kolektif, memperbaiki tata kelola, dan mengembalikan harmoni dengan alam.
Agama seharusnya menjadi pemandu etis, buka legitimasi untuk menutup mata terhadap kegagalan struktural. Fikih lingkungan mengingatkan kita: menjaga alam adalah bagian dari menjaga manusia, kehidupan, dan masa depan.
Tulisan ini berawal dari keresahan pribadi saya sebagai seorang santri, tetapi juga sebagai warga yang hidup di Indonesia yang rawan bencana. Alam memberi pesan keras, dan kita tidak bisa lagi bersifat pasif.
Setiap hujan deras adalah panggilan untuk meninjau ulang kebijakan, menghormati alam, dan mengutamakan keselamatan masyarakat. Alam tidak berbohong; ia hanya menunggu kita belajar, merenung, dan bertindak.
Bencana ini, akhirnya, bukan semata musibah yang tak terduga. Ia adalah cermin dari pilihan manusia, kebijakan yang salah arah, dan kelalaian pejabat yang seharusnya melindungi rakyat.
Jika kita terus diam, hujan berikutnya akan kembali menjadi alat alam untuk mengungkap kegagalan manusia. Alam berbicara , dan pesan itu harus kita dengar—dengan kesadaran, tanggung jawab, dan keberanian untuk bertindak.
Oleh :




