Kita mengenal lima tujuan utama syariah : menjaga agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Formulasi ini telah bertahan berabad-abad karena dianggap mampu mencerminkan kepentingan universal manusia. Namun, ada satu hal yang jarang diperhatikan : lima hal itu hanya mungkin dipelihara jika lingkungan—sebagai fondasi kehidupan—berada dalam kondisi yang sehat. Tanpa ekologi yang stabil, seluruh maqāṣid kehilangan pijakan materialnya.
Agama, misalnya, tidak beroperasi di ruang hampa. Ia membutuhkan tubuh yang sehat, air yang layak, dan ruang sosial yang aman.
Kerusakan lingkungan yang menyebabkan bencana ekologis secara langsung mengganggu kemampuan manusia menjalankan praktik keagamaannya. Menjaga al-nafs—jiwa—lebih sulit dibayangkan ketika polusi udara dan pencemaran air menjadi ancaman kesehatan yang nyata dan terukur.
Demikian pula dengan al-‘aql. Penelitian ilmiah menunjukkan bahwa kualitas lingkungan sangat berpengaruh pada perkembangan kognitif manusia. Lingkungan yang tercemar melemahkan fungsi berpikir, dan pada titik tertentu, menghambat tumbuhnya masyarakat yang rasional—sesuatu yang sangat ditekankan oleh pemikiran Islam modern.
Dari sudut pandang ekonomi, kerusakan lingkungan merusak al-māl bukan secara abstrak, tetapi secara langsung: produktivitas pertanian menurun, biaya kesehatan meningkat, dan infrastruktur rusak.
Begitu juga dengan al-nasl; bagaimana menjaga keberlanjutan generasi jika tanah, air, dan udara yang akan mereka warisi semakin tidak layak?
Masalahnya, fikih klasik tidak dirancang untuk menangani persoalan ekologis berskala global.
Ulama masa lalu hidup dalam dunia yang masih relatif seimbang secara natural. Karena itulah, isu lingkungan tidak pernah masuk menjadi kategori hukum tersendiri. Namun, modernitas menghadirkan tantangan yang berbeda, dan di sinilah kebutuhan rekonstruksi fikih menjadi penting.
Pemikir Islam kontemporer seperti Luthfi Assyaukanie mendorong agar agama bersentuhan lebih dekat dengan rasionalitas publik. Agama harus berbicara dalam bahasa kebutuhan manusia modern, bukan dalam kosakata hukum yang berhenti pada era sebelum industrialisasi. Dalam konteks itu, memasukkan lingkungan ke dalam kerangka maqāṣid bukanlah agenda ideologis, melainkan kebutuhan epistemologis.
Kita tidak sedang meminta fikih untuk menjadi aktivis lingkungan. Yang diperlukan adalah pengakuan bahwa keberlanjutan ekologis adalah syarat minimal bagi tegaknya tujuan-tujuan syariah. Tanpa itu, fikih kehilangan relevansi praktisnya dan hanya menjadi wacana normatif yang terlepas dari realitas.
Dengan kata lain, lingkungan bukan isu tambahan di luar fikih. Ia adalah fondasi yang menopang seluruh agenda etis Islam. Dan jika maqāṣid adalah kompas moral syariah, maka sudah saatnya kita memperluas pembacaan kita agar lebih responsif terhadap krisis ekologis—bukan sebagai tren global, tetapi sebagai bagian dari kesadaran keagamaan yang matang.




