Andai Tan Malaka masih hidup , mungkin dia akan bersuara lantang tentang arah pendidikan sekarang .
Pesan dari Tan Malaka tentang " Mendorong komunikasi dua arah antara guru dan murid, di mana murid berhak mengkritik dan pengembangan kepribadian melalui pergaulan dan demokrasi "
Tan Malaka Juga berpesa. " Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan"
Nah, Jika semua serba praktis bahkan di luaran sana instansi pendidikan yang maju dengan digitalisasi semua di kemas dengan jarak jauh , dan materi yang di sajikan jelmaan dari Ai dan sebagainya, Interaksi Guru dan Murid sudah terbatas .
Semuanya tampak canggih, namun di balik riuh itu tersisa pertanyaan mendasar yang lupa kita renungka : untuk apa sesungguhnya kita mendidik ?
Jika Neil Postman ( seorang ahli teori media dan pendidik AS ) masih hidup, barangkali ia akan tersenyum getir melihat sekolah yang sibuk berinovasi digital, tetapi kehilangan arah moral.
Kata Neil Postman " teknologi tidak netral dan dapat mengubah cara berpikir serta budaya, serta mengkhawatirkan pendidikan yang hanya fokus pada efisiensi digital akan mereduksi tujuan pendidikan menjadi sekadar tiket pekerjaan"
Menata Ulang Arah Pendidikan Kini saatnya meninjau ulang arah pendidikan kita. Sekolah bukan pabrik, guru bukan operator, dan siswa bukan komoditas. Pendidikan mesti kembali menjadi ruang pencarian makna yakni tempat pengetahuan berpadu dengan nilai dan kebijaksanaan dengan bimbingan belajar pengatahuan dan moral .
Kita menengok dari arah tenaga pendidik baik internal atau eksternal mereka mencari resep bagaimana mentransfer materi dengan cepat dan praktis , bukan bagaimana anak ini terdidik dengan tepat dan relevan.
Kalau kita hanya mempunyai prinsip hanya mentransfer ilmu dengan cepat , maka jawaban nya adalah digitalisasi cukup, tanpa peran guru yang melekat, namun jika kita mempunyai komitmen bagaimana mendidik dengan tepat , maka jawaban nya adalah bagaimana membekali anak didik dengan bimbingan berkualitas dalam segi pengetahuan dan moral .
Memang benar kita tidak perlu memusuhi teknologi, tetapi harus menempatkannya pada posisi yang benar yaitu sebagai pelayan bagi kemanusiaan, bukan penguasa atas manusia.
Teknologi boleh mempercepat proses belajar, tetapi tidak bisa menggantikan dialog rasa dan etika antara guru dan murid, apalagi menghapus nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi ruh pendidikan.



