![]() |
Syaiful Bahri, Mahasantri Ma'had Aly Situbondo |
Naratawa.id - Konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina telah mengundang perhatian dunia, termasuk umat Islam di Indonesia.
Dalam semangat solidaritas terhadap penderitaan rakyat Palestina, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan Fatwa Nomor 83 Tahun 2023 yang menyatakan haram hukumnya bagi umat Islam untuk mendukung agresi Israel terhadap Palestina, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dukungan tidak langsung ini didefinisikan mencakup tindakan seperti membeli produk dari perusahaan yang diketahui mendukung zionisme atau agresi Israel.
Sekilas, fatwa ini tampak sebagai langkah tegas dan bermoral tinggi. Namun, jika dicermati lebih dalam, muncul sejumlah pertanyaan kritis yang layak diajukan : Apakah batas antara dukungan langsung dan tidak langsung jelas? Bagaimana dampaknya terhadap pelaku usaha lokal? Apakah fatwa tersebut mampu melampaui sekadar larangan atau pembolehan semata?
Tulisan ini berupaya menelaah fatwa tersebut secara kritis dan konstruktif, bukan untuk menolak semangat solidaritas, melainkan untuk mengevaluasi kejelasan konsep, efek sosial-ekonomi, serta pendekatan strategi dakwah yang digunakan.
Apa Itu Dukungan Tidak Langsung?
Salah satu titik lemah fatwa ini adalah ketidakjelasan definisi "dukungan tidak langsung". Dalam dunia global saat ini, rantai distribusi dan kepemilikan perusahaan sangat kompleks. Apakah membeli produk multinasional seperti Coca-Cola, Unilever, atau Starbucks secara otomatis tergolong mendukung zionisme? Apakah setiap konsumen diwajibkan menelusuri latar belakang geopolitik dari tiap barang yang dibelinya?
Jika aturan tersebut tidak jelas, maka masyarakat bisa merasa terbebani dan cemas saat memilih produk untuk kebutuhan sehari-hari, padahal niat mereka netral. Fatwa ini juga berpotensi menjadi dasar bagi sebagian orang untuk menghakimi sesama hanya karena membeli produk tertentu tanpa mengetahui latar belakang politiknya.
Alih-alih memperkuat solidaritas, kebingungan semacam ini justru bisa melahirkan ketegangan dan keterbelahan sosial baru.
Antara Etika Konsumsi dan Logika Pasar Bebas.
Secara teori, ajakan untuk memboikot produk yang berasal dari pihak-pihak yang mendukung perang merupakan bentuk sikap moral yang terpuji. Namun, dalam praktiknya, fatwa tersebut cenderung menyederhanakan permasalahan kompleks seperti politik internasional menjadi persoalan pilihan konsumsi pribadi. Padahal, banyak masyarakat membeli produk bukan semata atas keinginan, melainkan karena kebutuhan atau keterpaksaan, terutama bagi mereka yang berpenghasilan terbatas.
Di sisi lain, produk yang dikaitkan dengan Israel tetap legal secara hukum dan telah memperoleh sertifikasi halal dari Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia. Hal ini menimbulkan kontradiksi, karena apabila produk tersebut halal dari segi bahan dan proses produksinya, maka menjadi pertanyaan mengapa penggunaannya dapat dinyatakan haram hanya berdasarkan afiliasi korporasi.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pendekatan fatwa belum diiringi penyesuaian sistematis dalam kebijakan sertifikasi halal, edukasi publik, maupun strategi pasar.
Padahal, sebagai lembaga fatwa terbesar di Indonesia, MUI semestinya memiliki pengaruh struktural untuk menyeimbangkan etika agama dan realitas pasar secara proporsional.
Pelaku Usaha Lokal Jadi Korban
Dampak lain dari fatwa ini adalah kemungkinan terjadinya diskriminasi terhadap pelaku usaha lokal, terutama UMKM yang menjual produk merek internasional.
Contohnya, pedagang minuman atau makanan ringan yang menjual produk yang dianggap terkait dengan zionisme, padahal mereka tidak tahu pasti tentang kepemilikan perusahaan tersebut. Jika fatwa ini diartikan secara harfiah, hal ini bisa menyebabkan pandangan negatif pada penjual, padahal mereka bukan pelaku agresi, bukan pendukung penjajahan, dan mungkin juga tidak paham soal politik internasional.
Agama seharusnya menjadi tempat untuk memperkuat hubungan sosial, bukan justru menjadi alat untuk mengucilkan orang lain.
Di Mana Strategi Positifnya?
Solidaritas untuk Palestina bukan hanya soal menolak Israel, tapi juga tentang bagaimana kita bisa membantu kehidupan rakyat Palestina dengan cara yang nyata dan bermanfaat. Namun, fatwa MUI selama ini lebih banyak bersifat reaktif, seperti larangan-larangan “jangan beli ini” atau “haram itu.” Jarang ada dorongan supaya umat Islam berinvestasi pada produk yang mendukung Palestina, belajar tentang ekonomi yang adil, atau bekerja sama dengan negara lain untuk memperkuat perdagangan halal yang bebas dari konflik.
Kalau tidak ada langkah positif dan rencana yang jelas, fatwa ini bisa jadi hanya sekadar aturan tanpa makna, bahkan malah bisa menghambat tujuan yang sebenarnya ingin dicapai.
Tidak ada yang menolak semangat MUI untuk membela Palestina. Namun dalam menyampaikan pesan moral kepada umat, fatwa semestinya juga mempertimbangkan aspek kejelasan konsep, realitas sosial-ekonomi, dan efektivitas implementasi.
Fatwa MUI Nomor 83 Tahun 2023 tentang haram mendukung agresi Israel dapat dipahami sebagai bentuk empati keagamaan yang luhur. Namun jika disampaikan tanpa strategi edukatif dan tanpa mendefinisikan batas yang tegas, ia justru berpotensi menyalahkan yang lemah, membingungkan yang awam, dan menguatkan eksklusivitas beragama yang tidak sejalan dengan prinsip Islam rahmatan lil alamin.
Yang dibutuhkan bukan hanya seruan boikot, tetapi juga etika solidaritas yang adil, cerdas, dan aplikatif.
Oleh : Syaiful Bahri, Mahasantri Ma'had Aly Situbondo