Iklan

Iklan feed

,

Iklan

 



Mengkritisi Fatwa Nakal ! Tentang Hukum Rokok Ilegal !

Naratawa
Rabu, 08 Oktober 2025, Oktober 08, 2025 WIB Last Updated 2025-10-09T06:45:56Z
Emha Mutawakkil, Mahasantri Ma'had Aly Situbondo, Gambar Versi Ai

Naratawa.id - Kemarin, sebuah majalah milik pondok pesantren di Jawa Timur mengeluarkan fatwa yang agak nakal, menghalalkan produksi rokok ilegal. “Jadi dalam pandangan fikih, boleh sebenarnya memproduksi rokok tanpa melalui prosedur izin seperti yang ditetapkan oleh pemerintah. 

Penetapan bea cukai atas harta milik menurut penjelasan di dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin dihukumi haram dan bahkan dianggap kafir jika ada yang menghalalkan hal ini sebab kewajiban orang islam atas harta yang dimiliki hanyalah zakat.” Agak ngeri sih ketika praktek penetapan bea cukai yang sudah berjalan bertahun-tahun di negeri ini dianggap praktek yang diharamkan dan bahkan kafir orang yang menghalalkannya, mengingat para ulama kita yang arif selama ini tidak ada yang mengharamkannya.

Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan majalah tersebut berpendapat demikian. Yang pertama, ia menganggap bahwa negara tidak berhak memungut apapun dari warga negara yang muslim selain zakat. Pendapat ini, mereka landaskan dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang mengatakan bahwa “tidak ada kewajiban dalam harta (seorang muslim) selain zakat”. Sekilas pendapat tersebut memang sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi SAW. Akan tetapi pemahaman yang benar atas suatu teks syariat -sebagaimana menurut KH. Afifuddin Muhajir- tidak cukup jika hanya berpijak pada kaidah kebahasaan saja. 

Ada satu hal yang juga harus dilakukan yakni mengaitkan satu teks dengan teks lainnya. (lihat : Jumhuriyah Indonesia al-Muwahhadah, hal 10).
Kandungan hadis di atas sebenarnya bertentangan dengan hadis lain yang juga diriwayatkan beberapa ulama hadis. At-Tirmidzi dan Ad-darimi misalnya, meriwayatkan sabda Nabi “sesungguhnya dalam harta (seorang muslim) ada kewajiban lain selain zakat”. 

Terjadi perbedaan sikap pada ulama kita dalam menyikapi hal ini. Ada yang berpendapat pertentangan dalam kedua hadis di atas sudah mencapai taraf idthirab, sebuah kerancuan yang menyebabkan kedua-duanya tidak bisa dibuat hujjah karena sudah tidak bisa dikompromikan dan tidak ada indikasi yang mendukung salah satunya. 

Ada juga yang hanya membenarkan kandungan hadits kedua serta mengabaikan hadis yang pertama, ini merupakan pendapat mayoritas ulama, mereka menganggap kandungan hadis yang pertama bertentangan dengan sebagian ayat al-Qur’an dan praktek yang terjadi di zaman Rasulullah yang mengabarkan adanya kewajiban-kewajiban selain zakat dalam harta seorang muslim (baca misalnya QS.al-Baqarah : 177). Saya lebih tertarik dengan Ibnu Taimiyah yang mencoba mengkompromikan dua hadis yang bertentangan itu, dalam ushul fikih, ini dikenal dengan al-jam’u wa at-taufiq. 

Menurut beliau yang dimaksud dengan “tidak ada kewajiban dalam harta (seorang muslim) selain zakat” adalah “tidak ada kewajiban dalam harta seorang muslim yang timbul dari harta itu sendiri selain zakat”. 

Memang banyak kewajiban seorang muslim dalam hartanya, tapi kewajiban yang timbul dari harta itu sendiri hanyalah zakat. Itulah yang ingin disampaikan dalam hadis yang pertama sehingga ia tidak bertentangan dengan hadis yang kedua yang mengabarkan adanya kewajiban lain dalam harta seorang muslim selain zakat. (lihat: Majmū‘ al-Fatāwā, jil. 7, hlm. 316)

Nah, kalau kita mengaca pada semua pendapat di atas, sangat tidak relevan jika hadis yang pertama itu dijadikan dalil untuk mengharamkan semua pungutan yang dilakukan pemerintah selain zakat dengan dalih “kewajiban seorang muslim hanyalah membayar zakat”.

Yang kedua, Majalah tersebut terlalu terpaku dengan apa yang tercantum dalam literatur fikih klasik tanpa memahami konteksnya. Rujukan yang dipakai Majalah tersebut untuk menghalalkan produksi rokok ilegal dan mengharamkan bea cukai semuanya berasal dari fikih klasik. Tidak salah ketika melandaskan pendapat dengan fikih klasik asal dengan proporsi yang ideal, mempertahankan yang masih layak dan membuang yang telah usang.

Pakar fikih kenamaan Prancis, Syekh abdullah bin Mahfudz mengatakan “kita harus mengakui bahwa bentuk negara saat ini berbeda dengan bentuk negara pada abad-abad sebelumnya. Ia telah menjadi realitas baru yang menuntut adanya fikih baru dengan pemahaman baru yang mampu menjawab persoalan-persoalan yang terjadi di dalamnya”. (lihat : Tanbih al-Maraji’ ila Ta’shil Fiqh al-Waqi’, hal 104). 

Di masa lampau, kas negara biasanya sudah terpenuhi melalui zakat, jizyah, kharaj, khums, ghanimah, fay’, kafarat, rikaz dan sebagainya. Itulah mengapa ulama terdahulu cenderung mengharamkan pungutan tambahan seperti pajak dan bea cukai. 

Hal ini berbeda dengan realita masa kini di mana pendapatan terbesar negara berasal dari pajak dan bea cukai demi tercapainya kemaslahatan, tentu saja negara berhak menetapkan pajak dan bea cukai pada komoditas tertentu untuk disalurkan pada kebutuhannya. Dalam konteks sekarang, membayar pajak dan bea cukai bukan hanya kewajiban dari segi hukum positif melainkan juga wajib menurut hukum Islam. 

Hal Ini dikarenakan keduanya sudah menjadi pendapatan pokok sebuah negara sehingga keengganan dalam menunaikannya tentu akan mengakibatkan kerugian terhadap negara yang tentu saja hal ini bertentangan dengan dalil-dalil universal Islam dan maqashidus syariah. 

Melansir dari kompas.com, kerugian negara sebab rokok ilegal mencapai Rp97,81 triliun. Selain itu ia juga menimbulkan persaingan yang tidak sehat sehingga juga merugikan para pelaku usaha di negeri ini.

Dengan demikian, menghalalkan produksi rokok ilegal dengan alasan haramnya pemungutan bea cukai bagi sebuah negara tidak lain timbul dari kejumudan dalam membaca literatur fikih klasik dan kepicikan dalam melihat realita. Wallahu a’lam.


Oleh : Emha Mutawakkil, Mahasantri Ma'had Aly Situbondo

Iklan ads