![]() |
Syaiful Bahri, Mahasantri Ma'had Aly Situbondo |
Naratawa.id - Di Indonesia demonstrasi sudah menjadi pemandangan yang akrab. Di jalanan, massa berkumpul dengan spanduk dan pengeras suara, menyuarakan tuntutan yang menurut mereka tak kunjung didengar.
Sementara itu, di ruang-ruang rapat berpendingin udara, pejabat negara sering kali menanggapinya dengan kalimat standar: “Aspirasi rakyat tetap kami tampung.” Pertanyaannya, sejauh mana suara itu sungguh-sungguh diakomodasi ?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Demo adalah “pernyataan pendapat atau protes secara massal di muka umum.” Definisi singkat ini mengandung pesan penting : ia merupakan ruang warga negara untuk menyalurkan suara kolektif, terutama ketika jalur formal politik tidak lagi efektif. Dengan demikian, demo adalah bentuk komunikasi publik, meski dalam wujud yang keras dan langsung.
Dalam literatur Islam klasik, istilah DEMO tentu tidak ditemukan. Namun, konsep yang sepadan sebenarnya sudah ada sejak lama. Para ulama membahas amar ma‘rūf nahi munkar—menyeru pada kebaikan dan mencegah keburukan—serta syūrā atau musyawarah sebagai instrumen partisipasi sosial.
Imam al-Ghazali, misalnya, dalam Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn menegaskan bahwa amar ma‘rūf adalah kewajiban kolektif yang harus dijalankan dengan cara yang tepat dan tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar.
Begitu pula al-Māwardī dalam al-Ahkām al-Sulthāniyyah, yang menempatkan syūrā sebagai mekanisme pengawasan terhadap penguasa.
Jika ditarik ke konteks sekarang, demonstrasi bisa dipahami sebagai bentuk ekspresi modern dari dua konsep tersebut. Al-Qur’an dalam QS. Āli ‘Imrān: 104 bahkan menekankan pentingnya keberadaan kelompok yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Artinya, suara publik yang mengingatkan penguasa adalah bagian dari etika Islam, selama dilakukan dengan cara yang maslahat. Namun, fikih selalu menuntut keseimbangan.
Aksi demonstrasi bisa bernilai kebajikan jika dilakukan secara damai, tertib, dan berorientasi pada kemaslahatan. Sebaliknya, ia bisa berubah menjadi kemungkaran jika menimbulkan kerusakan, kekerasan, dan korban. Kaidah fikih klasik mengingatkan : dar’ al-mafāsid muqaddam ‘alā jalb al-maṣāliḥ—mencegah kerusakan harus lebih didahulukan daripada menarik kemaslahatan.
Di sinilah problem muncul, rakyat sudah berteriak di jalan, tetapi pemerintah sering kali pura-pura tidak mendengar, aspirasi seolah “ditampung,” tetapi wadah yang digunakan bocor.
Dalam situasi ideal, seharusnya ruang musyawarah dan lembaga perwakilan berfungsi maksimal, sehingga energi sosial tidak perlu tumpah ke jalan. Tetapi ketika ruang-ruang itu buntu, jalanan menjadi alternatif terakhir bagi rakyat untuk menyampaikan suara.
Oleh karena itu, membicarakan demo dalam perspektif fikih tidak bisa hanya berhenti pada label halal atau haram, lebih dari itu, ia adalah soal etika publik dan kejujuran sosial, bagaimana rakyat menyalurkan aspirasi dengan cara yang bermartabat, dan bagaimana negara membuka telinga untuk mendengar kritik tanpa alergi.
Pada akhirnya, demonstrasi adalah cermin? Cermin bagi rakyat " apakah mereka mampu menyampaikan aspirasi dengan cara yang beradab.
Dan Juga Demonstrasi jadi cermin bagi negara, apakah mereka benar-benar masih peduli pada suara rakyat, atau hanya pada kepentingan sempit. Dalam kerangka keislaman, demo hanya layak disebut ibadah jika ia membawa kita pada satu tujuan yang sama-sama diajarkan agama dan ditunggu rakyat adalah KEADILAN.
Oleh : Syaiful Bahri, Mahasantri Ma'had Aly Situbondo