Iklan

Iklan feed

,

Iklan

 



Monolog : Trans7 di Persimpangan Etika ! Menanggapi isu yang lagi ramai di jagad maya .

Naratawa
Rabu, 15 Oktober 2025, Oktober 15, 2025 WIB Last Updated 2025-10-15T14:47:47Z
Syaiful Bahri, Mahasantri Ma'had Aly Situbondo

Naratawa.id - Beberapa hari terakhir, jagat media sosial ramai dengan seruan #BoikotTrans7. 

Tayangan dalam program Xpose Uncensored dinilai menyinggung dunia pesantren, dengan potongan narasi yang menggambarkan santri dan kyai secara tidak pantas. Potongan kalimat seperti “santri minum susu aja kudu jongkok” dan gambaran kyai menerima amplop, dianggap melecehkan nilai-nilai kesederhanaan dan kehormatan yang dijaga di dunia pesantren selama berabad-abad.

Reaksi publik pun tak main-main. Ribuan warganet, terutama dari kalangan santri dan alumni pesantren, langsung mengekspresikan kekecewaannya di berbagai platform. 

Tagar #BoikotTrans7 pun melesat jadi trending. Bukan karena publik antikritik terhadap dunia pesantren, tapi karena cara penyajiannya terasa mengandung bias, merendahkan, dan tak memberi ruang bagi klarifikasi.

Dalam dunia media, kita mengenal prinsip dasar “verify before publish” — verifikasi sebelum tayang. Prinsip ini adalah napas etika jurnalistik yang menjaga agar kebebasan pers tidak berubah menjadi kebebasan untuk melukai. Tayangan Trans7 kali ini seakan tergelincir pada kesalahan klasik media : lebih mengejar sensasi ketimbang substansi.

Kritik publik terhadap Trans7 bukan hanya bentuk kemarahan, tapi juga refleksi sosial terhadap batas etika media di era digital. Dalam masyarakat yang religius dan berbasis tradisi seperti Indonesia, media televisi memiliki tanggung jawab moral lebih besar. 

Ia bukan hanya penyalur hiburan, tapi juga pembentuk citra sosial tentang lembaga agama, tokoh publik, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Klarifikasi dan permintaan maaf yang dikeluarkan pihak Trans7 patut diapresiasi sebagai bentuk tanggung jawab. Namun publik tetap berhak menuntut evaluasi menyeluruh atas pola kerja produksi dan penyuntingan konten mereka. Permintaan maaf tanpa perubahan sistemik hanya akan melahirkan siklus yang sama : tayang—viral—dikecam—minta maaf.

Lebih jauh lagi, kasus ini membuka ruang dialog baru tentang hubungan media dan publik santri. Santri hari ini bukan lagi kelompok sunyi yang tinggal di balik pagar pesantren. 

Mereka melek digital, paham literasi media, dan mampu membangun opini publik di dunia maya. Reaksi cepat dan massif terhadap Trans7 menunjukkan kekuatan baru kaum santri sebagai komunitas kultural sekaligus digital citizen.

Akhirnya, kritik publik terhadap Trans7 seharusnya tidak dibaca sebagai upaya membungkam kebebasan media. Sebaliknya, ia adalah pengingat bahwa kebebasan selalu punya etika. 

Media yang besar bukanlah yang paling berani mengguncang, tetapi yang paling peka terhadap luka sosial yang bisa timbul dari setiap tayangannya.

Kita butuh media yang kritis tapi berempati, yang berani tapi beradab. Karena di tengah kebebasan informasi yang kian liar, etika adalah satu-satunya pagar yang menjaga martabat publik dari luka narasi.

Oleh : Syaiful Bahri, Mahasantri Ma'had Aly Situbondo

Iklan ads