Iklan

Iklan feed

,

Iklan

 



Monolog ! Mencari Keheningan di Tengah Bangsa yang Terlalu Ramai !

Naratawa
Kamis, 23 Oktober 2025, Oktober 23, 2025 WIB Last Updated 2025-10-23T12:09:39Z
Syaiful Bahri, Mahasantri Ma'had Aly Situbondo

Naratawa.id - Dalam banyak hal, bangsa kita tampak lebih suka keramaian ketimbang kedalaman. Setiap hari ada saja yang viral : pejabat menari di SOSMED, selebritas berseteru, atau warung ramai karena sambalnya terlalu pedas. 

Di tengah hiruk-pikuk itu, isu tentang air bersih, pendidikan, juga kesejahteraan rakyat tertinggal jauh dari sorotan. Seolah negeri ini sedang sibuk membicarakan hal kecil, sementara perkara besar dibiarkan membusuk perlahan.

Sebagai santri, saya teringat satu ungkapan hikmah :من شغلته الفروع عن الأصول فقد ضل “barang siapa yang sibuk dengan cabang hingga lupa pada pokok, ia telah tersesat arah”. 

Barangkali itu juga yang sedang terjadi pada kita sebagai bangsa. Kita terlalu sibuk mengurus gejala, tapi abai pada sebab. Kita memperbincangkan apa yang tampak di permukaan, tapi enggan menggali apa yang ada di dasar.

Pada dasarnya, fenomena ini lahir dari cara berpikir yang dangkal dan reaktif. Media lebih suka sensasi daripada makna. 

Politisi lebih tertarik pada popularitas daripada tanggung jawab. Sementara masyarakat terjebak dalam lingkaran konsumsi informasi yang cepat, tanpa sempat berpikir panjang. 

Kita terperangkap dalam apa yang disebut Neil Postman sebagai “amusing ourselves to death” — masyarakat yang terhibur sampai lupa berpikir.
Padahal, dalam tradisi keilmuan Islam, tafaqquh—kemampuan memahami secara mendalam—adalah kunci kebijaksanaan. 

Al-Qur’an pun menegur manusia yang hanya melihat dunia secara dangkal: “يَعْلَمُوْنَ ظَاهِرًا مِّنَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۖ وَهُمْ عَنِ الْاٰخِرَةِ هُمْ غٰفِلُوْنَ” (QS. ar-Rūm:7). Mereka tahu sisi luar kehidupan dunia, tetapi lalai pada makna batinnya. Bukankah ini juga cerminan masyarakat kita hari ini? Kita paham hal-hal viral, tapi tidak memahami arah kehidupan berbangsa.

Krisis ini bukan hanya soal media, tetapi juga soal kepemimpinan moral. Banyak pejabat lebih sibuk membangun citra daripada menyusun kebijakan. Mereka terjebak dalam budaya pencitraan digital yang memuaskan mata, tapi tidak memberi arti bagi rakyat. Di sisi lain, lembaga pendidikan dan agama yang seharusnya menjadi penuntun akal dan nurani, kadang ikut larut dalam tren yang sama.

Sebagai mahasantri, saya percaya bahwa jalan keluar dari krisis ini bukan dengan marah, tetapi dengan tafakkur—merenung dan memikirkan kembali arah kita. Kita perlu mengembalikan nalar publik kepada akarnya: kejujuran, keadilan, dan kasih pada sesama. 

Media harus kembali menjadi penyampai makna, bukan sekadar penyebar kehebohan. Pemerintah perlu berbicara dengan visi jangka panjang, bukan sekadar menanggapi apa yang sedang ramai. Dan masyarakat, termasuk kalangan santri, perlu mengambil peran sebagai penjaga akal sehat bangsa.

Bangsa ini tidak kekurangan suara, yang kurang adalah kebeningan. Kita terlalu sering berteriak, tapi jarang berpikir. Jika kita ingin Indonesia benar-benar menjadi Indonesia emas, sebagaimana yang telah diisukan, maka yang harus kita bangun bukan hanya infrastruktur, tapi juga kesadaran — kesadaran untuk berhenti heboh pada hal-hal kecil, dan mulai serius pada hal-hal besar.


Oleh : Syaiful Bahri, Mahasantri Ma'had Aly Situbondo

Iklan ads