1. Penindasan dan pengawasan Ketat oleh Pemerintah Kolonial Belanda
Menjelang tahun 1928, Hindia Belanda (Indonesia saat itu) berada di bawah pengawasan ketat pemerintah kolonial.
Semua organisasi pemuda dan pergerakan nasional yang muncul pasca 1920-an seperti Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon, dan Perhimpunan Indonesia diawasi ketat.
Pengawasan terhadap media dan surat kabar dilakukan. Tulisan yang memuat semangat “persatuan Indonesia” sering disita dan redaksinya dibubarkan.
Banyak aktivis pergerakan, seperti Soekarno, Hatta, dan Tjipto Mangunkusumo, diawasi bahkan diasingkan karena dianggap menghasut rakyat.
Ketakutan dan tekanan psikologis tinggi melanda kaum muda, karena mereka tahu bahwa menyuarakan “Indonesia Merdeka” bisa berujung penjara.
2. Pembubaran Organisasi dan Pemenjaraan Aktivis
Pada masa menjelang Sumpah Pemuda:
Beberapa tokoh pergerakan ditangkap karena dianggap menyebarkan “paham berbahaya”.
Partai Komunis Indonesia (PKI) dan berbagai organisasi kiri diburu pasca Pemberontakan PKI 1926–1927, yang membuat Belanda semakin represif terhadap seluruh gerakan kebangsaan.
Banyak pemuda yang dicurigai ikut pemberontakan ditangkap tanpa pengadilan dan dikirim ke kamp tahanan Boven Digoel (Papua) — sebuah tempat isolasi politik yang sangat berat dan dikenal sebagai “neraka bagi pejuang”.
Suasana mencekam, organisasi pemuda nasionalis terancam bubar, dan pertemuan rahasia menjadi satu-satunya cara untuk tetap berjuang.
3. Pendirian Camp pengasingan Boven-Digoel — “Siberia” Hindia Belanda
Untuk menyingkirkan aktivis dan pemimpin yang dianggap berbahaya, kolonial membangun camp/ tempat pengasingan di daerah terpencil Boven-Digoel (Papua) pada 1927.
Ribuan orang termasuk pemimpin PKI, aktivis nasionalis, jurnalis diangkut ke sana.
Disitu terjadi isolasi ekstrem, malaria dan penyakit, kekurangan makanan/obat, kematian di antara tahanan, dan hukuman administratif (pengasingan tanpa proses hukum yang adil).
Dalam beberapa refrens menyebut tahanan yang meninggal karena penyakit dan kondisi buruk; Camp itu menjadi simbol represi politik kolonial.
Di bawah ini Ringkasan Tragedi Gelap Sebelum Kongres Sumpah pemuda dari tahun ke tahun .
1925 — Awal Ketegangan Politik dan Sosial
Hindia Belanda mulai ketat mengawasi organisasi politik pribumi seperti Sarekat Islam, PKI, dan kelompok pemuda.
Rakyat menderita akibat pajak tinggi, kerja rodi, dan kesenjangan ekonomi kolonial.
Pemerintah kolonial menerapkan kebijakan “Politik Etis” yang hanya menguntungkan segelintir kaum terdidik, sementara rakyat kecil tetap miskin.
1926 — Pemberontakan Komunis Jawa Barat dan Banten
Oktober–Desember 1926 : PKI memimpin pemberontakan besar di Batavia (Jakarta), Banten, dan Priangan (Jawa Barat).
Tujuan : Melawan kolonialisme Belanda dan mendirikan pemerintahan rakyat.
Tragedi : Tentara kolonial melakukan penumpasan brutal. Ribuan rakyat ditangkap tanpa proses hukum, banyak desa dibakar, warga disiksa, dan sebagian pemimpin dieksekusi.
Korban : Sekitar 13.000 orang ditangkap, ratusan dibunuh atau diasingkan.
1927 — Pemberontakan di Sumatra Barat & Pembentukan Kamp Pengasingan
Januari 1927: Pemberontakan menyebar ke Sumatra Barat (Silungkang, Padang Panjang).
Kolonial Belanda menindak keras dengan operasi militer, banyak tokoh ditangkap dan dibuang ke Boven Digoel (Papua) — tempat pengasingan terpencil di tengah hutan rimba yang penuh malaria.
Makanan terbatas, penyakit menular, isolasi total, banyak tahanan meninggal akibat malaria, gizi buruk, dan keputusasaan.
1928 — Puncak Tekanan dan Lahirnya Semangat Persatuan
Awal 1928 banyak tokoh nasionalis dan pemuda diawasi atau diintimidasi aparat kolonial.
Pemuda-pemuda lintas etnis dan agama (Jong Java, Jong Sumatra, Jong Celebes, Jong Betawi, Jong Ambon, Jong Islamieten Bond) tetap berani mengadakan Kongres Pemuda II di Batavia (27–28 Oktober 1928).
Pertemuan dilakukan di bawah bayang-bayang ancaman polisi kolonial.
Setiap kegiatan politik harus sembunyi-sembunyi atau memakai kedok “kegiatan budaya”.
28 Oktober 1928 — lahir Sumpah Pemuda:
Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa: Indonesia.
Makna : Sumpah Pemuda menjadi jawaban moral terhadap represi dan penderitaan



