Kita hidup di era polarisasi, di mana opini yang ekstrem sering kali mendapatkan panggung utama, dan gaya hidup "semua atau tidak sama sekali" dirayakan.
Namun, justru dalam hiruk-pikuk inilah, kearifan kuno tentang moderasi, prinsip ini menemukan jalan tengah, menghindari kelebihan, dan mengutamakan keseimbangan menjadi lebih relevan dan penting daripada sebelumnya.
Artikel ini akan mengkupas tuntas konsep moderasi, menelusuri akar sejarah dan filosofisnya, serta melihat bagaimana prinsip universal ini diajarkan dalam berbagai tradisi agama besar dunia.
Apa Sebenarnya Moderasi ?
Secara sederhana, moderasi adalah penolakan terhadap ekstremisme. Ini adalah prinsip menghindari kelebihan di satu sisi dan kekurangan (deficiency) di sisi lain.
Sangat penting untuk dipahami bahwa moderasi bukanlah mediokritas atau sikap biasa - biasa saja . Moderasi bukanlah berarti tidak memiliki gairah atau keyakinan. Sebaliknya, moderasi adalah sebuah tindakan disiplin dan kebijaksanaan yang aktif.
Ini adalah kemampuan untuk menikmati kesenangan tanpa menjadi budaknya.
Ini adalah keberanian untuk memegang keyakinan tanpa jatuh ke dalam fanatisme.
Ini adalah kearifan untuk bekerja keras tanpa mengorbankan kesehatan dan hubungan.
Moderasi adalah seni menemukan "titik pas" yang dinamis dan kontekstual. Ini adalah tentang kecukupan (sufficiency) alih-alih kelebihan (excess), dan tentang harmoni alih-alih kekacauan.
Sejarah dan Asal Mula Filosofis Moderasi
Meskipun moderasi adalah nilai universal, para pemikir di berbagai peradaban kuno secara eksplisit merumuskannya sebagai landasan kebajikan dan kehidupan yang baik.
1. Yunani Kuno : Jalan Tengah Emas
Konsep moderasi mungkin paling terkenal dirumuskan dalam filsafat Yunani Kuno.
Prasasti Delphi : Di Kuil Apollo di Delphi, salah satu pusat spiritual Yunani, terukir maksim terkenal: "Meden Agan" (Μηδὲν ἄγαν) atau "Tidak Ada yang Berlebihan." Ini adalah inti dari kearifan Yunani, yang menyarankan bahwa segala sesuatu yang berlebihan, bahkan hal-hal yang baik sekalipun, dapat menjadi bumerang.
Aristoteles dan "Golden Mean" : Filsuf besar Aristoteles, dalam karyanya Nicomachean Ethics, memberikan artikulasi filosofis yang paling rinci tentang moderasi. Ia memperkenalkan konsep "Golden Mean" (Jalan Tengah Emas).
Menurut Aristoteles, kebajikan (virtue) adalah titik tengah di antara dua sifat buruk (vices) : satu karena kelebihan (excess) dan satu lagi karena kekurangan (deficiency).
Contoh sederhananya adalah :
Keberanian adalah jalan tengah antara Kepengecutan (kekurangan keberanian) dan Kecerobohan (kelebihan keberanian).
Kemurahan Hati adalah jalan tengah antara Kekikiran (kekurangan) dan Pemborosan (kelebihan).
Rasa Malu yang Pantas adalah jalan tengah antara Sifat Tak Tahu Malu (kekurangan) dan Sifat Pemalu Berlebihan (kelebihan).
Bagi Aristoteles, menemukan jalan tengah ini bukanlah perhitungan matematis yang sederhana, melainkan sebuah kearifan praktis (disebut phronesis) yang harus dilatih sepanjang hidup.
2. Filsafat Timur : Harmoni dan Keseimbangan
Moderasi juga merupakan pilar utama dalam pemikiran Timur.
Konfusianisme (Tiongkok) : Salah satu dari Empat Kitab dalam Konfusianisme disebut "Doctrine of the Mean" (Zhongyong). Kitab ini mengajarkan bahwa jalan menuju kesempurnaan moral terletak pada penjagaan keseimbangan, harmoni, dan "jalan tengah" dalam pikiran dan tindakan seseorang. Tujuannya adalah untuk mencapai keselarasan antara diri sendiri, orang lain, dan surga.
Taoisme (Tiongkok) : Konsep Yin dan Yang dalam Taoisme adalah representasi dari keseimbangan dinamis antara kekuatan yang berlawanan. Tao (Jalan) itu sendiri sering digambarkan sebagai sesuatu yang mengalir secara alami, menghindari ekstremisme, dan merangkul kesederhanaan.
Moderasi dalam Ajaran Agama-Agama Dunia
Prinsip moderasi bukanlah milik satu filsafat saja; ia adalah benang merah yang ditenun dalam ajaran spiritual dan agama-agama besar di seluruh dunia.
Berikut adalah beberapa contoh agama yang secara eksplisit mengajarkan moderasi :
1. Islam (Wasatiyyah)
Konsep moderasi dalam Islam sangat sentral dan dikenal dengan istilah "Wasatiyyah" (jalan tengah).
Landasan Quran: Al-Quran secara eksplisit menyebut Muslim sebagai "Ummatan Wasatan" (umat yang pertengahan/moderat).
"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan (ummatan wasatan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu..." (QS. Al-Baqarah: 143)
2. Buddhisme (Jalan Tengah)
Buddhisme, pada intinya, adalah ajaran tentang moderasi.
Kelahiran Ajaran inj pertama Sang Buddha setelah mencapai pencerahan adalah tentang "Jalan Tengah" (Majjhimā Paṭipadā).
Dua Ekstrem : Buddha menemukan jalan ini setelah ia sendiri mengalami dua kehidupan ekstrem:
Ekstrem Kesenangan Sensual : Kehidupan mewahnya sebagai seorang pangeran yang bergelimang harta dan kenikmatan.
Ekstrem Asketisme : Kehidupan penyiksaan diri yang ekstrem sebagai seorang pertapa di hutan, yang hampir membuatnya mati kelaparan.
Buddha menyadari bahwa kedua ekstrem ini tidak mengarah pada pembebasan. Pencerahan terletak di tengah : Jalan Mulia Berunsur Delapan. Ini adalah jalan moderasi dalam pandangan, pikiran, ucapan, perbuatan, mata pencaharian, usaha, perhatian, dan konsentrasi.
3. Kekristenan (Kesederhanaan dan Penguasaan Diri)
Meskipun mungkin tidak menggunakan istilah "moderasi" sesering yang lain, prinsipnya tertanam kuat dalam ajaran Kristen.
Buah Roh : Salah satu dari "Buah-buang Roh" yang didambakan adalah "Penguasaan Diri" (Bahasa Yunani: enkrateia), yang secara langsung berarti moderasi atau pengendalian diri (Galatia 5:22-23).
Melawan Kelebihan : Ajaran Kristen secara konsisten memperingatkan terhadap dosa-dosa yang berasal dari kelebihan, seperti:
4. Hinduisme (Sattva dan Keseimbangan)
Dalam filsafat Hindu, terutama dalam Bhagavad Gita, moderasi adalah kunci untuk kemajuan spiritual dan yoga (penyatuan).
Tiga Guna : Ajaran Hindu menjelaskan bahwa alam semesta terdiri dari tiga kualitas atau guna :
Tamas : Kegelapan, kelambanan, kemalasan (kekurangan).
Rajas : Gairah, aktivitas, kegelisahan (kelebihan).
Sattva : Keseimbangan, harmoni, kemurnian (jalan tengah).
Tujuan seorang praktisi spiritual adalah untuk melampaui Tamas dan Rajas dan memantapkan diri dalam Sattva.
Ajaran Krishna : Dalam Bhagavad Gita (Bab 6, Ayat 16-17), Sri Krishna secara eksplisit memberi tahu Arjuna tentang pentingnya moderasi:
"Yoga bukanlah untuk dia yang makan terlalu banyak atau terlalu sedikit, juga bukan untuk dia yang tidur terlalu banyak atau terlalu sedikit. Dia yang moderat dalam makan dan rekreasi, dalam bekerja, dan dalam tidur dan bangun, baginya yoga menjadi penghancur penderitaan."
5. Yudaisme (Jalan Emas Maimonides)
Dalam tradisi Yudaisme, filsuf besar era abad pertengahan, Maimonides (juga dikenal sebagai Rambam), sangat menekankan moderasi.
Pengaruh Aristoteles : Maimonides sangat dipengaruhi oleh Aristoteles. Dalam karya hukum dan etiknya, Mishneh Torah, ia menguraikan "Jalan Emas" (atau "Jalan Tengah") sebagai fondasi karakter moral.
Kesehatan Mental dan Fisik : Ia berpendapat bahwa seseorang harus selalu berusaha untuk menyeimbangkan sifat-sifatnya. Misalnya, seseorang tidak boleh mudah marah (ekstrem kemarahan) atau menjadi seperti "mayat" yang tidak memiliki perasaan (ekstrem kekurangan). Kebajikan adalah menemukan titik tengah yang tepat.
Kesimpulan : Moderasi sebagai Pilihan untuk jadi manusia seimbang .
Sejarah dan ajaran agama-agama dunia menunjukkan sebuah konsensus yang luar biasa " moderasi bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan " .
Ini adalah kearifan tertinggi yang dicapai melalui disiplin diri, kesadaran, dan pemahaman yang mendalam tentang sifat manusia.



