Di antara enam hal itu, satu hal yang sering diucapkan tetapi jarang dipahami secara mendalam adalah : Punya guru.
Saya sendiri, sebagai seorang santri yang bertahun-tahun hidup di pesantren, telah berkali-kali mengikuti kajian Ta’lim al-Muta’allim karya Syekh Az-Zarnuji. Kitab itu adalah semacam peta jalan bagi siapa pun yang ingin menempuh jalan ilmu.
Namun jujur saja, dulu saya hanya ikut kajian tanpa pernah betul-betul berpikir tentang makna di balik kalimat "punya guru." Hingga suatu ketika, saya terdiam dan bertanya dalam hati : siapa sebenarnya yang dimaksud guru itu?
Pertanyaan itu muncul bukan tanpa alasan.
Di tengah realitas pendidikan sekarang, terutama di lembaga formal maupun pesantren modern, istilah "guru" kadang hanya sebatas status administratif. Ada yang datang ke kelas, berbicara sebentar, memberi tugas, lalu menghabiskan sisa waktu dengan ponselnya.
Secara formal, mereka memang guru. Tapi secara spiritual dan moral, apakah mereka masih layak disebut murabbi—pembimbing jiwa dan akal anak didik ?
Sebagai anak didik , seringkali kami tak punya kuasa untuk memilih. Semua sudah diatur oleh sistem, oleh jadwal, dan oleh atasan. Maka timbul kebingungan : apakah "guru" yang dimaksud Imam Syafi’i itu siapa pun yang ditunjuk mengajar, atau sosok yang benar-benar menuntun, menanamkan adab, dan menyalakan semangat mencari ilmu?
Jika persoalan ini diabaikan, makna thalabul ‘ilm bisa kehilangan ruhnya. Kita mungkin akan menghasilkan santri yang pandai menulis catatan, tetapi tidak peka terhadap nilai.
Kita bisa mencetak banyak lulusan, tetapi sedikit murid sejati. Padahal, dalam tradisi keilmuan Islam, hubungan guru dan murid bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan transmisi keberkahan.
Guru yang tak menghadirkan keteladanan hanya akan melahirkan intelektual tanpa jiwa, seperti pohon tinggi tanpa akar.
Sudah saatnya kita meninjau ulang makna "punya guru." Dalam konteks pesantren, hal ini bukan berarti menentang sistem, melainkan menumbuhkan kesadaran pribadi : bahwa seorang santri atau anak didik perlu mencari sosok yang layak diteladani, meski ia tidak selalu satu ruangan dengannya.
Guru sejati bisa ditemukan lewat adab, bukan hanya lewat absensi.
Kita mungkin memang tak bisa memilih siapa yang mengajar kita hari ini. Tapi kita bisa memilih kepada siapa hati kita belajar. Sebab guru sejati bukan hanya yang menyampaikan ilmu, melainkan yang membimbing agar ilmu itu menumbuhkan jiwa.
Oleh :




