Iklan

Iklan feed

,

Iklan

 



Monolog ! Politisasi agama selalu di mainkan dalam kebijakan penguasa !

Naratawa
Jumat, 07 November 2025, November 07, 2025 WIB Last Updated 2025-11-07T16:02:17Z

Naratawa.id - Negara punya banyak cara untuk terdengar bijak. Salah satunya dengan berkata: “Subsidi harus tepat sasaran.” Kalimat itu terdengar rasional, tapi siapa sebenarnya sasaran itu, tak pernah jelas. Yang pasti, setiap kali subsidi dicabut yang paling duluan dikena dampaknya bukan korporasi besar, tapi rakyat kecil di dapur dan di pasar.

Pajak pun begitu. Ia disebut sebagai bentuk gotong royong modern, simbol partisipasi warga negara. Namun gotong royong macam apa yang selalu menempatkan rakyat di ujung paling berat? Rakyat disuruh taat membayar, sementara mereka yang duduk di kursi empuk menafsirkan “kontribusi” sebagai hak istimewa.

Lucunya, ditengah semua itu, tuhan dan agama kerap dihadirkan dalam narasi ekonomi. “bersyukurlah, harga naik itu ujian.” “sabar, rezeki sudah diatur.” Kalimat seperti ini memang menenangkan, tapi juga menutupi kenyataan bahwa kebijakan sering lahir bukan dari nurani, melainkan dari spreadsheet dan tekanan politik.

Padahal dalam tradisi islam, urusan harta publik adalah bagian dari amanah ilahiah. Nabi pernah bersabda “pemimpin adalah penggembala, dan setiap penggembala bertanggung jawab atas gembalaannya.” Zakat, kharaj, dan jizyah lahir dari prinsip bahwa negara tidak boleh hidup di atas penderitaan rakyat.

Kini, makna itu seolah terbalik. Pajak dinaikkan atas nama pembangunan, tapi pembangunan itu sendiri sering berhenti di ruang rapat dan baliho kampanye. Subsidi dipangkas atas nama efisiensi, tapi yang efisien hanyalah cara negara menghemat belanja sosial. Rakyat tetap diminta bersabar, karena kesabaran, konon, lebih murah dari keadilan.

Mungkin sudah saatnya kita menurunkan agama dari podium ekonomi. Bukan untuk menyingkirkan-Nya, tapi agar nama agama tidak dijadikan tameng kebijakan yang timpang. Karena keadilan sosial bukan soal doa atau sabar, melainkan keberanian politik untuk memihak yang lemah.

Dan jika agama benar hadir di antara pajak dan subsidi, mungkin Ia berdiri bukan di gedung kementerian, melainkan di antrean minyak goreng dan di meja warung yang kehilangan pelanggan.



Iklan ads