![]() |
| Syaiful Bahri, Mahasantri Ma'had Aly Situbondo |
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤئكَةِ ِانِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai Khalifah dimuka bumi ini.
Namun kita telah salah mengartikan apa itu menjadi khalifah di muka bumi.
Krisis ini menunjukkan bahwa institusi keagamaan, yang seharusnya menjadi penjaga moral, telah abai. Mereka terlalu sibuk dengan urusan ritual dan perdebatan ideologi, sampai lupa bahwa separuh ajaran Islam adalah tentang bagaimana kita memperlakukan realitas di sekitar kita.
Interpretasi Iman yang Terputus dari Realitas
Mari kita tilik kembali fondasinya. Al-Qur'an secara eksplisit menyebut bahwa semua makhluk dimuka bumi—ikan yang tak lagi bernyanyi, burung yang tak lagi berkicau—adalah umat-umat seperti kamu juga.
وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا طٰۤئرٍ يَّطِيْرُ بِجَنَاحَيْهِ اِلَّآ اُمَمٌ اَمْثَالُكُمْ
Tidak ada seekor hewan pun (yang berada) di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat (juga) seperti kamu. (QS. Al-An‘am : 38). Ayat ini seharusnya mengubah total cara pandang kita, dari menganggap alam sebagai objek yang dieksploitasi, menjadi subjek yang memiliki hak.
Namun, interpretasi keagamaan kita di Indonesia sering kali bersifat antropomorfis—berpusat pada manusia. Fikih kita fokus pada air untuk wudu, mandi dan bersuci, bukan air yang sehat bagi ikan dan ekosistem perairan lainnya.
Kita terobsesi pada maslahat (kebaikan) yang bisa kita raih, namun dengan mudah mengabaikan mafsadah (kerusakan) yang kita timbulkan pada makhluk lain. Inilah letak pengkhianatan spiritual kita.
Tugas kita sebagai khalifah adalah menjaga mizan (keseimbangan) yang ditetapkan Tuhan, sebagaimana yang sudah terurai secara jelas dalam Q.S Ar-Rahman :
وَأَقِيمُوا۟ ٱلْوَزْنَ بِٱلْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا۟ ٱلْمِيزَانَ
Dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu (Q.S. Ar-rahman:9).
Ketika limbah pabrik—atau bahkan limbah rumah tangga kita sendiri—mematikan ekosistem perairan, itu bukan sekadar isu teknis tata kelola limbah. Itu adalah fasad (kerusakan) yang disengaja. Dalam fikih, ini masuk kategori dharar—perbuatan yang secara jelas menimbulkan bahaya.
Rasulullah S.A.W bersabda :
لا ضَرَرَ ولا ضِرَارَ
“Tidak boleh menimbulkan bahaya dan tidak boleh membalas dengan bahaya” (H.R Ahmad dan Ibnu Majah)
Ketika sebuah perusahaan membuang limbah demi keuntungan ekonomi, itu bukan hanya melanggar undang-undang lingkungan; itu adalah melanggar hadis nabi juga kaidah fundamental fikih yang bersifat universal. disini, dosa ekologis bertemu dengan dosa sosial.
Merekonsiliasi Fikih dan Kelestarian
Sekarang, masalahnya adalah bagaimana kita merekonsiliasi fikih dengan realitas krisis 85% ini. Kita membutuhkan Fikih Lingkungan (Fiqh Al-bi’ah) yang transformatif, yang berani bersikap kritis terhadap otoritas politik dan ekonomi.
Kaidah fikih yang sering diulang :
دَرْء الْمَفَاسِد أولى من جلب الْمصَالح
"Mencegah kerusakan (mafsadah) lebih utama daripada meraih kemaslahatan (mashlahah)" harus ditarik dari kitab-kitab klasik dan diterapkan sebagai prinsip aksi yang konkret.
Artinya, jika sebuah proyek pembangunan ekonomi (seperti tambang atau industri) akan menimbulkan kerusakan permanen pada ekosistem perairan, maka secara fikih, proyek itu haram (sudah tidak bisa diganggu gugat). Nilai ekonomi tidak bisa membenarkan pemusnahan kehidupan.
Inilah momennya bagi lembaga-lembaga keagamaan—dari ormas besar seperti NU, MUHAMMADIYAH, hingga pesantren—untuk berhenti hanya menjadi penyedia layanan ritual dan mulai menjadi pengawal rahmah yang sejati.
Rahmah (kasih sayang) bukan hanya soal mengasihi sesama manusia atau memberi minum anjing yang kehausan, tetapi harus meluas hingga ke air yang bersih dan tanah yang subur.
Menyelamatkan danau (perairan) yang sepi berarti menegakkan keadilan fikih di hadapan keserakahan manusia. Ibadah kita menjadi tidak lengkap dan terputus jika dilakukan di atas bumi yang rusak dan ekosistem yang sekarat.
Kita bukan penguasa, melainkan penjaga. Ketika ikan pun tak lagi bernyanyi, burung tak lagi berkicau itu tanda bahwa kita telah kehilangan belas kasih, dan karenanya, kita kehilangan hak untuk dikasihi.
Oleh : Syaiful Bahri, Mahasantri Ma'had Aly Situbondo



